Seperti yang banyak diberitakan media, saat ini pesta
demokrasi di Amerika Serikat sedang berlangsung. Dan, saya bersyukur karena
kunjungan saya di Amerika ini bertepatan dengan pemilihan presiden antara
Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik.
Sejak tahu bahwa nantinya saya akan melihat langsung pemilihan
presiden ini, saya jadi sedikit agak rajin mengikuti berita politik, terutama
berita kedua kandidat yang bertarung.
Saya pun sangat semangat menonton debat calon presiden di televise
bersama keluarga angkat saya. Menonton debat capres adalah salah satu hal yang
tidak kalah seru dari nonton pertandingan football,
baseball, atau basketball bagi
masyarakat Amerika Serikat. Bahkan di beberapa tempat ada yang menggelar nonton
bareng.
Hal yang membuat saya salut, setiap debat berlangsung, kedua
kandidat menampilkan debat yang elegan, cerdas, dan jauh dari emosi yang alay. Pendukung yang menonton langsung
pun sangat tertib dan menghormati jalannya debat. Beda sekali dengan debat
capres atau debat pilkada yang sering kita lihat di Indonesia.
Sampai hari-hari menjelang pemilihan, tidak ada keributan
atau pun aksi kampanye anarkis yang berlangsung di Amerika. Tidak seperti di
Indonesia, selama masa kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat tidak
disertai dengan arak-arakan politik dari simpatisan kedua kandidat. Juga, tidak
terdapat poster atau baliho dengan foto kandidat, baik di pinggir jalan atau
pun tempat umum.
Ketertiban pemilu juga sangat terjaga. Tidak banyak orang
yang membicarakan secara terbuka pesta demokrasi ini, terutama mengenai
kandidat presiden. Jadi, jangankan adu mulut atau adu jotos antar pendukung
kandidat, bertanya “Who will you vote?” saja sangat dihindari.
Menurut saya hal yang unik dalam pelaksanaan pemilihan
presiden di sini adalah masyarkat bisa melakukan voting sejak dua minggu
sebelum tanggal 8 November yang merupakan hari terakhir dan puncak pemilihan
presiden. Sistem early voting ini
sudah dilakukan sejak beberapa pemilihan presiden yang lalu dan telah banyak
diadopsi di beberapa Negara bagian di Amerika Serikat.
Selain memilih presiden di bilik suara, masyarakat Amerika
Serikat juga memilih perwakilan di kongres, councilor,
senator, sheriff, general court, dan
juga memilih beberapa kebijakan yang akan diimplementasikan di tiap-tiap kota
nantinya. Pilihan kebijakan-kebijakan pemerintah ini berbeda di setiap Negara
bagian. Misalnya di Massachusetts, ada empat kebijakan yang diajukan oleh
legislator untuk bisa dipilih oleh masyarakat, yakni kebijakan penambahan jumlah
kasino di kota Boston, pelegalan mariyuana untuk orang-orang yang berusia di
atas 21 tahun, penambahan jumlah chartered
school, dan perlindungan terhadap binatang liar.
Cara mengisi kertas suara pun berbeda dari Indonesia. Kertas
suara di sini tidak menampilkan foto calon yang akan dipilih melainkan hanya
mencantumkan nama calon presidend dan wakilnya. Pun pemilih tidak mencoblos
kertas suaranya tapi melingkari bulatan yang tersedia di kertas suara.
Ilustrasinya seperti waktu kita mengisi bulatan lembar ujian nasional dengan
pensil 2B.
Perbedaan lainnya dengan pilpres di Indonesia, pemilu di
Amerika tidak menggunakan tinta untuk menandai pemilih yang telah
berpartispasi. Karena semua datanya sudah terkomputerisasi dengan baik, jadi
tidak memungkinkan ada pemilih yang memilih lebih dari satu kali.
Mungkin suatu saat pesta demokrasi kita akan sedewasa pesta
demokrasi Amerika - tidak ada lagi kecurangan, bentrok antar pendukung capres, dan
kekurangan-kekurangan lainnya.
Sekarang mari kita tunggu saja siapakah yang akan menang di
pilpres kali ini. Will the US mostly go
blue or red?
1 comment
Nice post...mungkin seperti itulah demokrasi yang sesungguhnya..